Kamis, 05 November 2015

Cerpen (SIMPUL)

Edit Posted by with No comments


Salam untuk kita semua..
Kali ini aku mau ngepost sesuatu yang semestinya sudah di post waktu kemarin-kemarin tapi berhubung kemarin padat banget jadwal activitynya jadinya y begini. 

Karenanya sebagai tanda permohonan maaf hari ini bakal ngepost semua yang telah tertunda.
Oh iya, jangan lupa untuk kritik dan sarannya y. Salam Terimakasih buat ka Doraemon dan Ka Lia yang sudah setia menjadi pembaca blog aku. 

Terimakasih juga buat semuanya yang sudah berkunjung ke blog ini.

So, Selamat membaca….

SIMPUL

Hasil gambar untuk animasi simpul

Air mengalir tanpa berujung. Matahari bersinar tanpa tahu kapan berakhir. Bak bulan dan bintang yang akan selalu bergandengan ditengah-tengah kegelapan. Jauh dikedalaman sendu ada penantian dengan ikatan-ikatan simpul yang merekat. Merekah seperti bunga yang bertebaran dihamparan taman. Menikmati mekarnya tanpa hasrat melayu.

Perjalanan yang terukir adalah goresan takdir.berawal dengan pertemuan dan berakhir dengan ikatan. Memulai dalam kehadiran sesok saudara lebih kunanti dari apa yang nyata. Walau abstrak tak terwujud hingga kusadari ia melekat disetiap dinding kalbu. Tak perlu berbisik pada setiap kata-kata dan tak perlu dialunkan nyanyian tentangnya. Biarkan diantara kita sendiri yang meraba.
Dalam sunyi kegelapan meradang. Merekalah yang hadir dalam kebahagian jauh dipandangan simpul itu menatap. Seolah cermin yang terpasang akan lukisan. Tersenyum dan tersenyum, berbahagia lalu berbahagia serta sedih dan menangis. Sungguh hadiah yang termahal didunia adalah simpul itu. Tanpa aku tulus meminta Tuhan telah memberi jauh dari semua pandangan tentangnya. Semuanya kuharapkan akan terus mengalir walau badai besar menerjang kuat dan tak akan mampu mendera. Sebab, ini ada karena ketulusan yang suci.

Melodi terus berdendang diantara kita. Hidup tentu banyak kisah. Hidup tentu terasa jikalau ada beragam simpul bak itu. Bahasa kasih yang kunanti tak akan lepas diantara kita. Ini kisahku, engkau dan dia. Saat itu datanglah kehadiran yang tak kuduga. Aku menyadari akan dirimu yang terbayang sebagai sosok bijak, penyayang dan sulung untuk kita. Saat dimana aku menatap dalam didepanku. Sebuah cerita agar kita tak melepaskan simpul ini.

***

“apa?” tanyaku padanya “ia, kau sudah semestinya pergi kesana” jawabnya. “tak bisakah kau menyadari kalau aku tak lebih baik dari dirimu?”. Ia hanya diam dan tak mau tahu tentang itu. Maka mulailah detik aku melangkah. Suatu desa yang indah, sejuk lagi asri. Banyak hal yang akan kudapat disini. Jauh dari hiruk piruk keramaian kota. Bergeming perasaan indah yang sebelumnya dipenuhi kabut amarah. Meski terpaksa awalnya, tidak akhirnya. Disini aku mendapat hadiah yang tak bernilai. Sesosok sahabat yang luar biasa. Mereka juga bersahabat jauh lebih lama dari apa yang kuketahui.
Iren dan Septi nama mereka. 

Banyak hal yang mereka lakukan untukku. Bantuan yang tak sepenuhnya dapatku balas kembali. Hari ini waktunya aku untukku mengajar disuatu sekolah dasar. Hari ini akan diisi dengan kegiatan bermain peran. Kisah tentang persahabatan yang akan mereka perankan. Hingga pembelajaran berakhir begitu cepat. Aku, Septi dan Iren sungguh menikmati hari ini. Begitu menarik dan tak akan terlupakan. Kita makan bersama, tidur bersama dan menghabiskan waktu bersama. Tiba-tiba keesokan harinya iren harus pergi kekota sebab ada urusan. Semenjak kepergiannya hingga kini tak  ada kabar lagi. Septi sering bilang bahwa ia selalu curhat pada Iren bahwa ia tak bisa capek karena hal itu dapat memicu penyakitnya kambuh. 

Sungguh Septi memang seperti itu. Kita saling memandang hamparan biru yang indah berharap kabar indah kedatangan Iren segera menyapa. “mengapa Iren tak mau mengangkat teleponku?” Tanya septi. “aku juga, barangkali saat ini ia memang sibuk”. “aku pun berharap demikian” ungkap Septi. Sepekan kemudian Iren kembali. Ia bersikap berubah dari sebelumnya. Seolah ada kesalahan yang telah kami perbuat tak tahu apa itu. Septi selalu mencoba menanyakan apa yang terjadi tetapi tak dapat mengetahui apa permasalahan. Kali ini kita meski ke air terjun untuk mengajak anak-anak kelas. Hubungan kami masih tak berangsur membaik tetapi kebahagian kami tak seperti kebahagian yang anak-aak rasakan.

 Kabut dan gelap mendera. “Septi, apa ia marah pada kita Karena hal itu?” “apa itu?” jawabnya. “saat kau membiarkan Iren tersesat dimalam hari dan membiarkan ia hingga kembali sendiri”. “kau juga selalu membiarkan ia mengalah padamu” tanyaku lagi. “iya.. tapi Iren tak seperti itu” “lantas apa?” “entahlah”. Tiba-tiba saja saat hendak menuruni jalan yang licin yang hanya setapak saja Septi terpeleset namun ia tak sengaja menarik lengan Iren dan berakhir Iren juga terjatuh dan terguling. Perjalanan yang terburuk untukku. Dua sahabatku dilarikan kerumah sakit. Septi harus melakukan operasi sebab ia tertusuk dahan runcing dibagian belakangnya dan Iren hanya tak sadarkan diri dan luka kecil disekujur tubuhnya.

Mereka terbaring bersebelahan. Sekembalinya aku saat fajar terbit Iren taka da disana dan sudah dibawa pulang oleh keluarganya dikota. Tinggallah aku dan Septi yang belum sadarkan diri. Hingga berlalu dan untuk ketiga kalinya mentari menyapaku lagi. Septi menyebut nama Iren untuk kesekian kalinya lagi. “Septi.. Bangun Sep..” sambil memagang tangannya. Sinar terang menyapa pandangannya. “syukurlah kau sadar” “kemana Iren? ia tak  apa-apakan?  Aku telah membuatnya terjatuh”  sambil berlari keluar ruangannya. “Iren pulang dan akupun tak tahu itu. Kejadiannya sungguh cepat berlalu. “apa ia tak merindukan aku? Kau juga?” “tentu.. aku juga sangat” “ia mungkin marah besar padaku. Aku yang menyebabkan hal ini terjadi” “kau tak semestinya begitu. Keluarganya mungkin memang khawatir dan ia diminta pergi untuk berkumpul dengan mereka”. Aku sungguh bersedih dengan keadaan ini emang Iren bisa seperti itu. Septi juga semakin menurun kondisinya sebab ia terus bersedih dan merasa bersalah.

Aku berniat kuat menemui Iren sampai ketemu. Meski nekat aku paksakan agar aku tetap dapat bertemu ia dan akhirnya ada kesempatan yang terselip diantaranya. Aku menarik tangannya dan kubawa ia ketempat yang cukup sepi. “Iren.. sungguh keterlaluan kau! Tak bisakah kau merasakan kesedihan kami? Aku sungguh tak ingin kau marah dan menghancurkan hubungan kita bersama seperti ini!” “lantas apa urusanku? Bukankah ini juga karena Septi?” tegasnya. “ia tentu tak sengaja. Kau tak bisa menghargai persahabatan kita hanya dengan satu atau dua kesalahan. “apa kau bilang? Satu atau dua? Ini sudah kesekian kalinya aku tersakiti!” “apa maksudmu?” tanyaku. “kau tak tahu bagaimana. sebab kau hanya orang asing yang baru saja muncul dalam kehidupan kami! Jadi jangan bertindak sok bijak!” melangkah pergi. Aku ikuti langkahnya dan tepat di depannya aku pun melayangkan tanganku pada wajahnya dan itu secara spontanitas aku lakukan. “keterlaluan kamu ren! Saudara kau disana bersedih dan merasa bersalah hingga ia yang seharusnya tak boleh drop malah semakin drop! Ia memikirkan kau yang saat ini sedang bersenang-senang” “aku tak peduli” “apa? Tak peduli? Bagaimana bisa kau seperti ini?”  “keterlaluan kau Iren” melangkah pergi meninggalkannya.

Sementara itu, Septi semakin merasa bersalah dengan keadaan ini. “Apa pantas ia seperti itu?” aku masih terjaga dengan kata-kata itu. “bagaimana bisa ia seperti itu?” apa yang harus aku lakukan dengan kenyataan ini. Tiba-tiba Septi membuyarkan lamunanku. “aku akan tetap menunggunya hingga besok tiba” “maksudmu?” “besok adalah hari jadi persaudaraanku diantara Iren yang genap tujuh tahun, kita tak pernah lupa, sekalipun ia atau aku marah dihari itulah amarah musnah bak bayi yang baru lahir. Apa sebenarnya salahku? Apa karena kejadian itu?” “maksudmu Sep?” tanyaku penasaran.

 “sebelum kau datang aku pernah membohonginya karena alasan aku rasa aku lupa bahwa ia yang berhak tahu soal itu. Aku tak bisa membuat seseorang yang menyukai ia dan begitupun sebaliknya bertengkar dan berakhir dendam amarah” “aku tak mengerti, apa maksudmu itu?” “maksudku, seseorang yang saling menyukai akhirnya bermusuhan karena aku, aku yang menyebabkan hal itu terjadi” “meski Iren juga bersedih karena itu, tapi ia mencoba kuat dengan seseorang yang akhirnya marah padanya, tetapi ia tak tahu bahwa itu aku penyebabnya” “lalu?” “setelah itu kau datang dan semua baik-baik saja. Aku masih merasa bersalah dan akhirnya aku jujur padanya” “itu yang membuatnya diam beberapa hari sampai akhirnya seperti ini?” “benar, itu benar sekali” kata Septi yang menegaskan. “kalau begitu, tunggu saja hingga besok sampai nanti dia datang?” “baiklah, sampai jumpa besok. Aku tunggu didepan jalan raya” kata Septi. “iya, sip” tegasku.

***

Keesokkan harinya, kami membeli kue dan beberapa minuman untuk merayakan persaudaraan kami. Menunggu dibawah pohon yang rindang, jauh dari setiap sudut-sudut pandang terbayang kehadirannya seolah bak itu nyata. Tak bisakah ia hadir seutuhnya agar setiap percikan api itu memudar hilang seketika diterpa derasnya hujan. Tiba-tiba hujan turun “kita berteduh dirumah pohon saja” ajakku. “iya, ayo kita tunggu Iren disana” mengemasi barang dan melangkah meningglkan tempat. Begitu tiba disana ada sedikit keheranan terlintas “ada apa? Kenapa?” kata Septi. “aku hanya berpikir sepertinya tempat ini sungguh dijaga” “tentu, seminggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk membersihkannya, biasanya pada malam hari aku akan kesini menyempatkan diri” “oh benarkah”. “tapi kenapa aku merasa ada yang aneh?”. Pikiran sudah mulai membuyar, detik waktu terus berjalan tanpa peduli akan kami yang belum menemukan penantian.

“Septi, sepertinya ia benar-benar tak datang” ungkapku. “aku akan menunggu disini hingga besok tiba” “baiklah akupun demikian”. Seperti bulan dan bintang yang setia bergandengan menerangi kegelapan. Hingga mentari bersambut dan tak ada kedatangan hadir. Kecewa dan sedih yang kudapatkan. Bagaimana bisa Iren bisa menukar sekalipun itu 100 dengan harga persaudaraan kita. Sungguh tak ada yang bisa kulakukan untuk simpul ini. Kami kembali dengan sesak di kalbu. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan pada kenyataannya.

Kabar buruk terjadi! Septi dilarikan ke rumah sakit sebab penyakitnya kambuh lagi. Ia tak bisa kelelahan atau selalu bersedih sebab ini akan berdampak pada kesehatannya. Aku lupa kalau kita sejak kemarin menunggu dan tidak tidur. “bagaimana bisa aku lupa?” menimpali diri sendiri. Saat di rumah sakit, septi bisa tertolong. Dokter mengingatkan bahwa ia tidak boleh lelah maupun terlalu banyak pikiran. Ia tak boleh mengalami seperti itu. Septi juga dapat dibawa pulang sekarang. Begitu tiba dan suasana mendukungku maka aku putuskan bahwa kita akan lupakan Iren dan mengubur dalam tentangnya bahwa tak ada yang terjadi pada saat itu. Kita hanya berdua tak ada yang namanya Iren. aku mengetahui dalam berat tetapi inilah pilihan terbaik untukku dan kau. Aku memohon dengan sangat padamu Sep. Ia menyetujui dan mengerti maksudku. Terpaan ombak ganas mampu menghantam dan memecahkan batuan karang. Tak ada yang mampu bertahan sekalipun simpul kuat telah terpasang. Hilang terbawa ombak dan pergi entah kemana. Mimpi yang tak pernah terbayang jauh dipelupuk hasrat.

***

Sudah beberapa bulan aku dan dia melupakannya. Tak ada yang seutuhnya mampu menahan perasaan rindu yang teramat akan sesok yang suci. Tak ada yang mampu menghapus nostalgia tentangnya. Jauh dan jauh di dasar kalbu tersimpan lukisan nyata tentangnya. Jika mata dan tangan dapat berbuat sungguh mereka merindu dalam pandangan dan memegang erat tangannya.
Hari ini aku pergi kekota untuk menjenguk seorang temanku yang sedang sakit. Setelah bertanya pada orang disana aku menjenguknya dengan harapan ia segera sembuh. saat hendak keluar dari rumah sakit aku melihat ibu Iren disana dengan wajah yang sangat cemas tak karuan. Hati ini terbesit sesuatu. Aku mengikuti diam-diam dan begitu mengetahui dengan jelas siapa yang ada disana. “bu, ada apa dengan Iren?” tanyaku seketika ibunya keluar ruangan. “Sisil, bagaimana bisa kau?” dengan terkejut. “tak penting itu bu, Iren kenapa?” “ia tak apa-apa” “bu, tolong jangan berbohong padaku, jelas diwajahmu tersirat ada sesuatu yang berbeda. Kita adalah saudaranya, bagaimana bisa bu kau hanya diam dan membiarkan kami tak tahu apa-apa”.

Meski berulang kali mengelak, aku sempat mengancam akan menanyakan langsung pada dokter ataupun perawat. Meski awalnya ragu akan kulakukan higga aku mengetahui dengan jelas apa yang terjadi. Aku mendapat ijin masuk keruangannya. Iren terkena penyakit leukemia. Ia perlu menjalani operasi berulang kali hingga saat ini sudah kesekian kalinya ia dioperasi. Ini berkaitan dengan sum-sum tulang belakangnya. Sejak operasi terakhir Iren tak bisa sadarkan diri. Terlebih sejak kejadian ia yang terguling jatuh beberapa bulan yang lalu. Kondisinya pada saat itu sudah mulai melemah. Dokter bilang apabila keadaanya semakin parah maka perlahan-lahan ini dapat membahayakan Iren.
Saatku melihat wajah saudaraku yang terbaring kaku disana sungguh menyayat hati ini. Andai dari awal aku tahu apa yang terjadi. Perlahan-lahan rambutnya semakin menipis sebab ini juga pengaruh dari kemoterapi. Sungguh sakit dan menyedihkan bagiku sebab aku sungguh bersalah padanya. aku pernah melayangkan tanganku kewajahnya. Aku taka da disaat ia membutuhkan saudaranya. “Ren.. kumohon kembali lah.. Tuhan ijinkan kami menjumpainya lagi. Keajaibanmu yang kunanti”. Ungkapku dalam hati.

Menyadari kesalahan yang teramat. Bagaimana bisa ia begitu kuat ditengah-tengah keadaannya. Meski ia juga tersakiti akan saudaranya yang marah padanya. “bu, mengapa tak ada yang mengetahui ini selain ibu dan ayahnya?” “Iren berpesan bahwa ia tak ingin Septi sibuk memikirkannya dan takut septi semakin parah. Lagi pula katanya kau telah hadir ditengah-tengah mereka. Kau bisa dipercaya untuk menjaga Septi. Itu pesannya Iren”. “sampai kapan Iren dapat bertahan bu?” “ibu juga tidak dapat mengetahui dengan pasti, do’a kalian yang paling dibutuhkan saat ini” “tentu bu, saya pulang dulu” “tolong jangan beritahu Septi ya nak” “tidak bu, kita saudaranya. Terlebih Septi juga dibutuhkan Iren saat ini bu. Saya mohon ibu dapat mengerti keadaan ini”. “baiklah, saat ini kesembuhannya Iren yang paling penting” “benar bu, saya pamit” melangkah dengan tergesa-gesa. Aku melangkah segera pulang untuk menemui Septi untuk mengabari apa yang terjadi. Begitu tiba, aku langsung menemuinya dan memberitahu yang terjadi. Septi terkejut dan sambil menangis segera berangkat kembali aku dan dia kesana. Menemui Iren yang sedang membutuhkan saudara-saudaranya.

Sesampai disana tepat Iren telah pergi seutuhnya. Hanya tangisan yang mengalun menyanyikan kesedihan. Akupun demikian, aku bahkan tak sempat meminta maaf padanya bahwa aku telah bersalah. Septi menangis sejadi-jadinya. Begitupun kedua orang tuanya. Kita merasa kehilangan dirinya. Septi bahkan pingsan sebab Iren tak mungkin bersamanya lagi. Tak ada lagi sesosok malaikat yang tulus sepertinya. Semoga Tuhan menyayanginya seperti ia menyayangi orang tuanya.
“alunan do’a menghantarkan kepergianya Sep, aku percaya ia telah menjadi bagian yang terbaik disana. Kau tahu, ada ribuan malaikat yang menemaninya saat ini. Sampai bertemu lagi disurga”
“aku sungguh merindukannya.. kecupan terakhirku untukknya tak mampu menghapus kerinduanku Sil. Kau dan aku akan tetap menjaga simpul ini karena aku tahu Iren disana juga akan menjaga simpul kita”

SELESAI


0 komentar:

Posting Komentar