Salam untuk kita semua..
Kali ini aku mau ngepost sesuatu yang semestinya
sudah di post waktu kemarin-kemarin tapi berhubung kemarin padat banget jadwal
activitynya jadinya y begini.
Karenanya sebagai tanda permohonan maaf hari ini
bakal ngepost semua yang telah tertunda.
Oh iya, jangan lupa untuk kritik dan sarannya y. Salam
Terimakasih buat ka Doraemon dan Ka Lia yang sudah setia menjadi pembaca blog
aku.
Terimakasih juga buat semuanya yang sudah berkunjung ke blog ini.
So, Selamat membaca….
SIMPUL
Air mengalir tanpa berujung. Matahari bersinar tanpa
tahu kapan berakhir. Bak bulan dan bintang yang akan selalu bergandengan
ditengah-tengah kegelapan. Jauh dikedalaman sendu ada penantian dengan
ikatan-ikatan simpul yang merekat. Merekah seperti bunga yang bertebaran
dihamparan taman. Menikmati mekarnya tanpa hasrat melayu.
Perjalanan yang terukir adalah goresan
takdir.berawal dengan pertemuan dan berakhir dengan ikatan. Memulai dalam
kehadiran sesok saudara lebih kunanti dari apa yang nyata. Walau abstrak tak
terwujud hingga kusadari ia melekat disetiap dinding kalbu. Tak perlu berbisik
pada setiap kata-kata dan tak perlu dialunkan nyanyian tentangnya. Biarkan
diantara kita sendiri yang meraba.
Dalam sunyi kegelapan meradang. Merekalah yang hadir
dalam kebahagian jauh dipandangan simpul itu menatap. Seolah cermin yang
terpasang akan lukisan. Tersenyum dan tersenyum, berbahagia lalu berbahagia
serta sedih dan menangis. Sungguh hadiah yang termahal didunia adalah simpul
itu. Tanpa aku tulus meminta Tuhan telah memberi jauh dari semua pandangan
tentangnya. Semuanya kuharapkan akan terus mengalir walau badai besar menerjang
kuat dan tak akan mampu mendera. Sebab, ini ada karena ketulusan yang suci.
Melodi terus berdendang diantara kita. Hidup tentu
banyak kisah. Hidup tentu terasa jikalau ada beragam simpul bak itu. Bahasa
kasih yang kunanti tak akan lepas diantara kita. Ini kisahku, engkau dan dia.
Saat itu datanglah kehadiran yang tak kuduga. Aku menyadari akan dirimu yang
terbayang sebagai sosok bijak, penyayang dan sulung untuk kita. Saat dimana aku
menatap dalam didepanku. Sebuah cerita agar kita tak melepaskan simpul ini.
***
“apa?” tanyaku padanya “ia, kau sudah semestinya
pergi kesana” jawabnya. “tak bisakah kau menyadari kalau aku tak lebih baik
dari dirimu?”. Ia hanya diam dan tak mau tahu tentang itu. Maka mulailah detik
aku melangkah. Suatu desa yang indah, sejuk lagi asri. Banyak hal yang akan
kudapat disini. Jauh dari hiruk piruk keramaian kota. Bergeming perasaan indah
yang sebelumnya dipenuhi kabut amarah. Meski terpaksa awalnya, tidak akhirnya.
Disini aku mendapat hadiah yang tak bernilai. Sesosok sahabat yang luar biasa.
Mereka juga bersahabat jauh lebih lama dari apa yang kuketahui.
Iren dan Septi nama mereka.
Banyak hal yang mereka
lakukan untukku. Bantuan yang tak sepenuhnya dapatku balas kembali. Hari ini
waktunya aku untukku mengajar disuatu sekolah dasar. Hari ini akan diisi dengan
kegiatan bermain peran. Kisah tentang persahabatan yang akan mereka perankan.
Hingga pembelajaran berakhir begitu cepat. Aku, Septi dan Iren sungguh
menikmati hari ini. Begitu menarik dan tak akan terlupakan. Kita makan bersama,
tidur bersama dan menghabiskan waktu bersama. Tiba-tiba keesokan harinya iren
harus pergi kekota sebab ada urusan. Semenjak kepergiannya hingga kini tak ada kabar lagi. Septi sering bilang bahwa ia
selalu curhat pada Iren bahwa ia tak bisa capek karena hal itu dapat memicu
penyakitnya kambuh.
Sungguh Septi memang seperti itu. Kita saling memandang
hamparan biru yang indah berharap kabar indah kedatangan Iren segera menyapa.
“mengapa Iren tak mau mengangkat teleponku?” Tanya septi. “aku juga, barangkali
saat ini ia memang sibuk”. “aku pun berharap demikian” ungkap Septi. Sepekan
kemudian Iren kembali. Ia bersikap berubah dari sebelumnya. Seolah ada
kesalahan yang telah kami perbuat tak tahu apa itu. Septi selalu mencoba
menanyakan apa yang terjadi tetapi tak dapat mengetahui apa permasalahan. Kali
ini kita meski ke air terjun untuk mengajak anak-anak kelas. Hubungan kami
masih tak berangsur membaik tetapi kebahagian kami tak seperti kebahagian yang
anak-aak rasakan.
Kabut dan gelap mendera. “Septi, apa ia marah pada kita
Karena hal itu?” “apa itu?” jawabnya. “saat kau membiarkan Iren tersesat
dimalam hari dan membiarkan ia hingga kembali sendiri”. “kau juga selalu
membiarkan ia mengalah padamu” tanyaku lagi. “iya.. tapi Iren tak seperti itu”
“lantas apa?” “entahlah”. Tiba-tiba saja saat hendak menuruni jalan yang licin
yang hanya setapak saja Septi terpeleset namun ia tak sengaja menarik lengan
Iren dan berakhir Iren juga terjatuh dan terguling. Perjalanan yang terburuk
untukku. Dua sahabatku dilarikan kerumah sakit. Septi harus melakukan operasi
sebab ia tertusuk dahan runcing dibagian belakangnya dan Iren hanya tak
sadarkan diri dan luka kecil disekujur tubuhnya.
Mereka terbaring bersebelahan. Sekembalinya aku saat
fajar terbit Iren taka da disana dan sudah dibawa pulang oleh keluarganya
dikota. Tinggallah aku dan Septi yang belum sadarkan diri. Hingga berlalu dan
untuk ketiga kalinya mentari menyapaku lagi. Septi menyebut nama Iren untuk
kesekian kalinya lagi. “Septi.. Bangun Sep..” sambil memagang tangannya. Sinar
terang menyapa pandangannya. “syukurlah kau sadar” “kemana Iren? ia tak apa-apakan? Aku telah membuatnya terjatuh” sambil berlari keluar ruangannya. “Iren
pulang dan akupun tak tahu itu. Kejadiannya sungguh cepat berlalu. “apa ia tak
merindukan aku? Kau juga?” “tentu.. aku juga sangat” “ia mungkin marah besar
padaku. Aku yang menyebabkan hal ini terjadi” “kau tak semestinya begitu.
Keluarganya mungkin memang khawatir dan ia diminta pergi untuk berkumpul dengan
mereka”. Aku sungguh bersedih dengan keadaan ini emang Iren bisa seperti itu.
Septi juga semakin menurun kondisinya sebab ia terus bersedih dan merasa
bersalah.
Aku berniat kuat menemui Iren sampai ketemu. Meski
nekat aku paksakan agar aku tetap dapat bertemu ia dan akhirnya ada kesempatan
yang terselip diantaranya. Aku menarik tangannya dan kubawa ia ketempat yang
cukup sepi. “Iren.. sungguh keterlaluan kau! Tak bisakah kau merasakan
kesedihan kami? Aku sungguh tak ingin kau marah dan menghancurkan hubungan kita
bersama seperti ini!” “lantas apa urusanku? Bukankah ini juga karena Septi?”
tegasnya. “ia tentu tak sengaja. Kau tak bisa menghargai persahabatan kita
hanya dengan satu atau dua kesalahan. “apa kau bilang? Satu atau dua? Ini sudah
kesekian kalinya aku tersakiti!” “apa maksudmu?” tanyaku. “kau tak tahu
bagaimana. sebab kau hanya orang asing yang baru saja muncul dalam kehidupan
kami! Jadi jangan bertindak sok bijak!” melangkah pergi. Aku ikuti langkahnya
dan tepat di depannya aku pun melayangkan tanganku pada wajahnya dan itu secara
spontanitas aku lakukan. “keterlaluan kamu ren! Saudara kau disana bersedih dan
merasa bersalah hingga ia yang seharusnya tak boleh drop malah semakin drop! Ia
memikirkan kau yang saat ini sedang bersenang-senang” “aku tak peduli” “apa?
Tak peduli? Bagaimana bisa kau seperti ini?”
“keterlaluan kau Iren” melangkah pergi meninggalkannya.
Sementara itu, Septi semakin merasa bersalah dengan
keadaan ini. “Apa pantas ia seperti itu?” aku masih terjaga dengan kata-kata
itu. “bagaimana bisa ia seperti itu?” apa yang harus aku lakukan dengan
kenyataan ini. Tiba-tiba Septi membuyarkan lamunanku. “aku akan tetap
menunggunya hingga besok tiba” “maksudmu?” “besok adalah hari jadi
persaudaraanku diantara Iren yang genap tujuh tahun, kita tak pernah lupa,
sekalipun ia atau aku marah dihari itulah amarah musnah bak bayi yang baru
lahir. Apa sebenarnya salahku? Apa karena kejadian itu?” “maksudmu Sep?”
tanyaku penasaran.
“sebelum kau
datang aku pernah membohonginya karena alasan aku rasa aku lupa bahwa ia yang
berhak tahu soal itu. Aku tak bisa membuat seseorang yang menyukai ia dan
begitupun sebaliknya bertengkar dan berakhir dendam amarah” “aku tak mengerti,
apa maksudmu itu?” “maksudku, seseorang yang saling menyukai akhirnya
bermusuhan karena aku, aku yang menyebabkan hal itu terjadi” “meski Iren juga
bersedih karena itu, tapi ia mencoba kuat dengan seseorang yang akhirnya marah
padanya, tetapi ia tak tahu bahwa itu aku penyebabnya” “lalu?” “setelah itu kau
datang dan semua baik-baik saja. Aku masih merasa bersalah dan akhirnya aku
jujur padanya” “itu yang membuatnya diam beberapa hari sampai akhirnya seperti
ini?” “benar, itu benar sekali” kata Septi yang menegaskan. “kalau begitu,
tunggu saja hingga besok sampai nanti dia datang?” “baiklah, sampai jumpa
besok. Aku tunggu didepan jalan raya” kata Septi. “iya, sip” tegasku.
***
Keesokkan harinya, kami membeli kue dan beberapa
minuman untuk merayakan persaudaraan kami. Menunggu dibawah pohon yang rindang,
jauh dari setiap sudut-sudut pandang terbayang kehadirannya seolah bak itu
nyata. Tak bisakah ia hadir seutuhnya agar setiap percikan api itu memudar
hilang seketika diterpa derasnya hujan. Tiba-tiba hujan turun “kita berteduh
dirumah pohon saja” ajakku. “iya, ayo kita tunggu Iren disana” mengemasi barang
dan melangkah meningglkan tempat. Begitu tiba disana ada sedikit keheranan
terlintas “ada apa? Kenapa?” kata Septi. “aku hanya berpikir sepertinya tempat
ini sungguh dijaga” “tentu, seminggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk
membersihkannya, biasanya pada malam hari aku akan kesini menyempatkan diri” “oh
benarkah”. “tapi kenapa aku merasa ada yang aneh?”. Pikiran sudah mulai
membuyar, detik waktu terus berjalan tanpa peduli akan kami yang belum
menemukan penantian.
“Septi, sepertinya ia benar-benar tak datang”
ungkapku. “aku akan menunggu disini hingga besok tiba” “baiklah akupun
demikian”. Seperti bulan dan bintang yang setia bergandengan menerangi
kegelapan. Hingga mentari bersambut dan tak ada kedatangan hadir. Kecewa dan
sedih yang kudapatkan. Bagaimana bisa Iren bisa menukar sekalipun itu 100
dengan harga persaudaraan kita. Sungguh tak ada yang bisa kulakukan untuk
simpul ini. Kami kembali dengan sesak di kalbu. Tak ada lagi yang bisa
dipertahankan pada kenyataannya.
Kabar buruk terjadi! Septi dilarikan ke rumah sakit
sebab penyakitnya kambuh lagi. Ia tak bisa kelelahan atau selalu bersedih sebab
ini akan berdampak pada kesehatannya. Aku lupa kalau kita sejak kemarin
menunggu dan tidak tidur. “bagaimana bisa aku lupa?” menimpali diri sendiri.
Saat di rumah sakit, septi bisa tertolong. Dokter mengingatkan bahwa ia tidak
boleh lelah maupun terlalu banyak pikiran. Ia tak boleh mengalami seperti itu.
Septi juga dapat dibawa pulang sekarang. Begitu tiba dan suasana mendukungku
maka aku putuskan bahwa kita akan lupakan Iren dan mengubur dalam tentangnya
bahwa tak ada yang terjadi pada saat itu. Kita hanya berdua tak ada yang
namanya Iren. aku mengetahui dalam berat tetapi inilah pilihan terbaik untukku
dan kau. Aku memohon dengan sangat padamu Sep. Ia menyetujui dan mengerti
maksudku. Terpaan ombak ganas mampu menghantam dan memecahkan batuan karang.
Tak ada yang mampu bertahan sekalipun simpul kuat telah terpasang. Hilang
terbawa ombak dan pergi entah kemana. Mimpi yang tak pernah terbayang jauh
dipelupuk hasrat.
***
Sudah beberapa bulan aku dan dia melupakannya. Tak
ada yang seutuhnya mampu menahan perasaan rindu yang teramat akan sesok yang
suci. Tak ada yang mampu menghapus nostalgia tentangnya. Jauh dan jauh di dasar
kalbu tersimpan lukisan nyata tentangnya. Jika mata dan tangan dapat berbuat
sungguh mereka merindu dalam pandangan dan memegang erat tangannya.
Hari ini aku pergi kekota untuk menjenguk seorang
temanku yang sedang sakit. Setelah bertanya pada orang disana aku menjenguknya
dengan harapan ia segera sembuh. saat hendak keluar dari rumah sakit aku
melihat ibu Iren disana dengan wajah yang sangat cemas tak karuan. Hati ini
terbesit sesuatu. Aku mengikuti diam-diam dan begitu mengetahui dengan jelas
siapa yang ada disana. “bu, ada apa dengan Iren?” tanyaku seketika ibunya
keluar ruangan. “Sisil, bagaimana bisa kau?” dengan terkejut. “tak penting itu
bu, Iren kenapa?” “ia tak apa-apa” “bu, tolong jangan berbohong padaku, jelas
diwajahmu tersirat ada sesuatu yang berbeda. Kita adalah saudaranya, bagaimana
bisa bu kau hanya diam dan membiarkan kami tak tahu apa-apa”.
Meski berulang kali mengelak, aku sempat mengancam
akan menanyakan langsung pada dokter ataupun perawat. Meski awalnya ragu akan
kulakukan higga aku mengetahui dengan jelas apa yang terjadi. Aku mendapat ijin
masuk keruangannya. Iren terkena penyakit leukemia. Ia perlu menjalani operasi
berulang kali hingga saat ini sudah kesekian kalinya ia dioperasi. Ini
berkaitan dengan sum-sum tulang belakangnya. Sejak operasi terakhir Iren tak
bisa sadarkan diri. Terlebih sejak kejadian ia yang terguling jatuh beberapa
bulan yang lalu. Kondisinya pada saat itu sudah mulai melemah. Dokter bilang
apabila keadaanya semakin parah maka perlahan-lahan ini dapat membahayakan
Iren.
Saatku melihat wajah saudaraku yang terbaring kaku
disana sungguh menyayat hati ini. Andai dari awal aku tahu apa yang terjadi. Perlahan-lahan
rambutnya semakin menipis sebab ini juga pengaruh dari kemoterapi. Sungguh
sakit dan menyedihkan bagiku sebab aku sungguh bersalah padanya. aku pernah
melayangkan tanganku kewajahnya. Aku taka da disaat ia membutuhkan saudaranya.
“Ren.. kumohon kembali lah.. Tuhan ijinkan kami menjumpainya lagi. Keajaibanmu
yang kunanti”. Ungkapku dalam hati.
Menyadari kesalahan yang teramat. Bagaimana bisa ia
begitu kuat ditengah-tengah keadaannya. Meski ia juga tersakiti akan saudaranya
yang marah padanya. “bu, mengapa tak ada yang mengetahui ini selain ibu dan
ayahnya?” “Iren berpesan bahwa ia tak ingin Septi sibuk memikirkannya dan takut
septi semakin parah. Lagi pula katanya kau telah hadir ditengah-tengah mereka.
Kau bisa dipercaya untuk menjaga Septi. Itu pesannya Iren”. “sampai kapan Iren
dapat bertahan bu?” “ibu juga tidak dapat mengetahui dengan pasti, do’a kalian
yang paling dibutuhkan saat ini” “tentu bu, saya pulang dulu” “tolong jangan
beritahu Septi ya nak” “tidak bu, kita saudaranya. Terlebih Septi juga
dibutuhkan Iren saat ini bu. Saya mohon ibu dapat mengerti keadaan ini”.
“baiklah, saat ini kesembuhannya Iren yang paling penting” “benar bu, saya
pamit” melangkah dengan tergesa-gesa. Aku melangkah segera pulang untuk menemui
Septi untuk mengabari apa yang terjadi. Begitu tiba, aku langsung menemuinya
dan memberitahu yang terjadi. Septi terkejut dan sambil menangis segera
berangkat kembali aku dan dia kesana. Menemui Iren yang sedang membutuhkan
saudara-saudaranya.
Sesampai disana tepat Iren telah pergi seutuhnya.
Hanya tangisan yang mengalun menyanyikan kesedihan. Akupun demikian, aku bahkan
tak sempat meminta maaf padanya bahwa aku telah bersalah. Septi menangis
sejadi-jadinya. Begitupun kedua orang tuanya. Kita merasa kehilangan dirinya.
Septi bahkan pingsan sebab Iren tak mungkin bersamanya lagi. Tak ada lagi
sesosok malaikat yang tulus sepertinya. Semoga Tuhan menyayanginya seperti ia
menyayangi orang tuanya.
“alunan do’a menghantarkan kepergianya Sep, aku
percaya ia telah menjadi bagian yang terbaik disana. Kau tahu, ada ribuan
malaikat yang menemaninya saat ini. Sampai bertemu lagi disurga”
“aku sungguh merindukannya.. kecupan terakhirku
untukknya tak mampu menghapus kerinduanku Sil. Kau dan aku akan tetap menjaga
simpul ini karena aku tahu Iren disana juga akan menjaga simpul kita”
SELESAI