Jumat, 23 Oktober 2015

Cerpen (Damai Bersamamu)

Edit Posted by with No comments
Damai Bersamamu

Saat jingga mewarnai detik pergantian waktu. Seakan memutar kembali kenangan memori yang penuh akan makna. Memandang ke depan jauh di kedalaman sayup-sayup rindu datang tak terelakkan. Kehadirannya bagian dari sejarah yang tak tertuliskan.
***
Seolah hati berkata bahwa aku sudah bahagia. Aku telah menikmati akan hidup yang sebenarnya. Terlahir dari keturunan bangsawan, hidup tak mengenal kekurangan dan bebas bersikap. Aku tak pernah mengenal kata sedih, gelisah dan tak bahagia. Mereka tak lebih beruntung dari hidupku. Betapa mereka menginginkan kehidupanku. Tak heran banyak orang yang menantikan kehadiranku. Tidak ada kebahagian yang seperti aku miliki hingga saat ini. Mereka yang selalu mengasihiku datang dalam diam dan tersenyum dalam kesunyian. Perjalanan terus berulang meski aku tak sekecil dahulu lagi. Bahagia itu bebas bersikap apapun kehendak diri. Tak akan ada yang melarang itulah kebahagian yang mereka berikan. Sekarang kedewasaan mulai mewarnai kehidupanku. Mereka yang selalu bersamaku, mulai asyik bersahabat dengan gemerlap malam dan kegaduhan yang tak luput dari pandangan purnama.
***
Suara bel berbunyi, suara isyarat panggilan telah tiba. Begitu jumpa dengan mereka maka segeralah langkah kaki bergerak melangkah. Seperti biasanya, malam kehidupanku adalah bagian dari kebahagianku. “Andre, suara telponmu berbunyi cepat angkatlah” ucapku. “Tidak penting! Biarkan saja” jawabnya. Setelah membiarkan malam semakin larut Andre tiba-tiba saja mengajak pulang. Tak peduli aku menjawab atau tidak ia segera menarik lenganku dan melangkah jauh meninggalkan keramaian. Dunia ini seolah goyang dan tak jelas apa yang terlihat. Andre seketika datang dan mengantarku pulang. Kita tak sepenuhnya menyadari bahwa tak pantas jika mengendarai seperti kecepatan pesawat yang terbang di udara. Terlebih tak ada belokan yang sama seperti di samudera. Tak tahu apa yang membuat Andre tiba-tiba berubah pikiran dan hendak cepat sampai. Kita memilih jalan yang lebih sepi dan memotong jalan.
Saat hendak membelokkan ke arah kiri tak di duga bahwa seseorang sedang duduk di samping gerobak dan semua tak terkendali. Andre dan aku telah melakukan kesalahan besar. Seketika Andre turun dan mencoba melihat apa yang terjadi. “Aku takut, apa yang terjadi?” ucapku menenangkan diri. “Apa yang terjadi Andre! Jawab!” seketika ia kembali ke kempat kemudi. “Aku tak tahu! Dengan cepat mobil berhembus pergi. Apa yang barusan terjadi. Semua begitu cepat hingga aku tak menyadari sepenuhnya. Seseorang terlempar di depan mobil dan tertabrak dengan mobil yang di kemudikan Andre. Malamnya aku tak jadi pulang ke rumah. “Tenangkan dirimu! Kita tidak akan di gugat. Tak ada yang melihat” ucap Andre. “Kau sudah memastikan bahwa mereka tak melihat? Bagaimana dengan orang itu?” jawabku. “Sepertinya dia tak selamat! Tolong jaga rahasia ini dan biarkan semuanya menghilang seiring waktu. Tom, kau satu-satunya yang bisa aku percaya! Ini untuk kebaikan kita!” tegas Andre.
Meski begitu, malamnya tidak ada yang dapat terlelap. Semua yang awalnya tak jelas terlihat seakan jelas terbayang kembali rekaman kejadian barusan. Mimpi buruk telah menghantui kami. Hanya sepi dan diam seribu arti yang kami ratapi.
***
Kembali mentari menyapa dengan ratapan sinar yang begitu terang. Tak ada yang bisa dilupakan. Semua hanya disimpan rapat dalam benak masing-masing. Sehari penuh beban sekali untuk perlahan-lahan diam dan melupakan. Keadaan ini tentunya membuatku dan Andre tak kuat. Beruntung aku bukan pelaku sesungguhnya kejadian itu. Andre penyebab semua ini. Hati nurani juga tak tega, ia bahkan lebih frustasi daripada aku. Berkali kali aku lihat ia meminum pil penenang. Ia kembali pergi menjauh dari hadapanku. “Sebegitu beratkah baginya karena kejadian itu?” ungkapku dalam hati. Andre menghilang selama berbulan-bulan. Kita semua tak bisa menghubunginya. Bi Surti hanya bisa memberitahu bahwa Andre di bawa ke luar negeri.
***
“Aku membenci diriku, aku benci keadaan ini!” kebahagianku lenyap seketika. Hidupku gelap dan terjebak di kegelapan. Semua terasa mimpi bahkan Tom pun seakan bukan sosok temanku lagi. Semua menghantuiku, orang itu dan kejadian itu. Orang tuaku yang melihat kejadian itu hanya membawaku keluar negeri dan membiarkan diriku terpenjara di ruangan tak sepadan dengan diriku. Aku tak semestinya ada di klinik psikiater. “Mana kebahagian yang kumiliki sekarang? Siapa yang berani mengambil dan merenggutnya!” lagi dan lagi perawat itu datang tanpa henti. Kali ini ia memberikan aku kesempatan untuk bebas pergi berkeliling di lingkungan klinik. Ia sengaja memperlihatkan bagaimana orang-orang yang kehilangan akal pikirannya. Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Semenjak saat itu, perawat itu tak kunjung kembali. Ia tak pernah lagi ke klinik. “Dunia yang aneh!!” kuteriakan berkali-kali.
Beberapa bulan kemudian aku akhirnya bebas dari semua itu. Mereka akhirnya menyadari bahwa aku bukan dari bagian mereka. Aku berbeda dan tidak seperti mereka. Jika saja malam itu tidak terjadi maka hidupku tidak seperti ini. Sebelum aku kembali, aku menanyakan kemana perginya perawat itu. Menurut salah satu teman yang menggantikannya ia telah meninggal dunia karena penyakit tumor ganas. Perawat itu memberikan sebuah sapu tangan yang bersulamkan kata “God” kepadaku. Sebelum berhenti dan meninggal ia menitipkannya untukku agar diberikan sebelum aku pergi dan kembali. Ada hal yang tak bisa aku mengerti di dunia ini. Hidupku mulai hampa dan kosong. Aku kembali pulang dan tak lama akhirnya berjumpa dengan kawan lamaku, Tom.
Petemuan singkat yang menyentuh hingga debar-debar jantung mengarungi raga. Dia sudah seperti bagian dari diriku. Mungkin benar saat kita tak bersama seorang sahabat kita akan menyadari betapa berharganya mereka. Tom ternyata sudah lama menunggu kedatanganku. Ia sering bertanya kabarku selama aku di luar negeri.
***
“Tidak!! Aku bukan pembunuhmu! Menjauh dan pergi menjauh!” Andre seketika bangun dari tempat tidurnya. “ada apa dengan kau? Tenangkan dirimu” jawab Tom tiba—tiba masuk ke kamar. Andre segera berlari ke kamar mandi dan berteriak seolah ada yang mengganggunya. Nampak bahwa Andre tak sepenuhnya sembuh. Aku biarkan ia seperti itu, berharap bahwa mentari tiba dengan senyuman yang indahnya. Tanpa ada yang menyadari aku tiba-tiba berjalan jauh saat sinar purnama yang terang di kesunyian. Aku benci dan berteriak keras, hidup macam apa ini. Siapa sebenarnya yang berani mengganggu hidupku. Siapa dia? Tunjukkan saja kemampuan dan kehendaknya. Apa dia pengecut hingga berani berbuat seperti ini. Tak sengaja aku melempar kerikil kepada seorang anak kecil. Ia mengaduh kesakitan, sebab kerikil itu mengenai mata sebelah kirinya. Aku sontak kaget dan segera berlari.
Saat kudekati dirinya. Seketika ia berhenti menangis. Matanya yang sakit sengaja ia tahan di depanku. Aku khawatir dan segera membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat perawatan, adik kecil itu harus rela matanya diperban sebab itu ia hanya bisa menggunakan sebelah matanya untuk saat ini. Dokter juga tak berani memutuskan apa yang terjadi. Aku harap ini tak sampai menghilangkan penglihatannya.
“Kenapa tak menangis? Kau tak marah kepadaku?” tanyaku. “Aku sudah menangis, bagiku itu sudah cukup untuk mengungkapkan kesedihanku. Untuk apa marah kepada tuan? Aku percaya bahwa ada satu hal yang semuanya sudah di atur oleh tangan yang paling indah” jawabnya. Jawaban atas pertanyaanku seolah tak ada beban baginya. Ia bahkan tenang sekali tanpa ada emosi. “Kau hendak kemana malam begini? Lalu dimana orang tuamu?” “Tuan, bisakah ku jawab hanya dengan satu kata?” “Tentu, apa itu?” “Pemakaman”. Anak ini membuatku tertarik dengan sikapnya yang sungguh unik. Akhirnya aku sampai pada sebuah rumah yang tak mirip dengan rumah. Tempat para pengemis berkumpul tidur, itulah tempat tinggalnya.
Sebelum ia tidur di atas kertas koran yang tersusun memanjang, ia mendekati seorang kakek dan nenek tua renta yang tengah berbaring disana. Ia selimuti mereka dengan kertas koran yang ia miliki. Lagi dan lagi aku hanya diam kaku meratapi. Sebelum tidur ia Nampak tengah berdo’a tak lama setelah itu ia tertidur pulas di tengah keadaan matanya yang sebelah tak bisa melihat. Aku tak tidur semalaman. Saat mentari menyapa, ia terbangun oleh sentuhan kilau sang surya. Lagi dan lagi ia berdo’a dan segera menyapa kedua orang tua renta itu dan berangkat memulung. Aku ikuti setiap langkah kecil perjalanannya. Satu demi satu sampah pun di dapatnya. Begitu sampai waktunya, ia segera berdo’a entah apa yang dikatakannya aku tak tahu. Saat malam setiap makanan malamnya akan ia bagi sepertiga. Untuknya dan kedua orangtua renta itu. Bagaimana ada anak seperti ia. Malam kemudian bersambut.
Aku masih tetap kaku meratapi aktivitasnya. Sekitar jam delapan malam, ia berangkat dan sesampai tiba-tiba di sebuah pemakaman yang tak begitu gelap sebab terdapat lampu jalan yang menerangi tempat itu. Setelah menunggu lama ia kemudian beranjak pulang dan tepat di depannya aku hentikan langkahnya. Akhirnya kami duduk di bawah sinar lampu jalan yang memandangi berbagai kendaraan lewat. “Untuk apa kau kesini?” “Aku hanya menjumpai kedua orang tuaku” “Lalu bagaiman bisa kau hidup sendiri” “Aku tak pernah hidup sendiri tuan” “Maksudmu?” “Tentu saja, ia yang memiliki mata yang begitu hebat, pendengaran yang amat tajam hingga ia juga bisa mengetahui apa perasaan kita, apa dia tak masuk hitungan?”.”Maksudmu?” “Pikirkanlah”.
Di perjalanan ia akhirnya bercerita bahwa ayahnya telah meninggal dan korban tabrak lari hampir setahun yang lalu. Sambil bercerita ia menjelaskan kronologis kejadian yang tak lain di ceritakan oleh orang tua renta yang biasa ia temui sebelum tidur. Mereka mungkin tak sepenuhnya dapat menjawab tetapi saat itu apapun perkataan mereka dapat aku percaya. Semakin bercerita aku semakin merasa ada yang aneh. Lama-lama ceritanya memberitahukan bahwa aku adalah orang yang merenggut kebahagiannya. Aku pembunuh ayahnya. Aku yang menyebabkan ia juga kehilangan sebagian penglihatannya. Aku tak berani mengakui, meski aku tahu kebenaran yang terjadi. Tom yang akhirnya mngetahui kisah ini juga bersedih dan menetaskan air mata. Ia tak sanggup melihat kenyataan ini. Berbulan-bulan aku menghilang dan ingin berjumpa dengannya. Tom terus memaksaku agar kita memperbaiki kesalahan meski tak sepenuhnya kita bisa memperbaikinya.
Seperti biasanya, waktu ia berkunjung ke makam orang tuanya. Di tempat itulah kami mengakui segala kesalahan. Aku tak sanggup menahan air mata penyesalanku. Tom pun demikian. Sang anak kecil itu tak marah sedikitpun. Ia bahkan tersenyum dan memeluk nisan ayahnya. Saat Tom bertanya mengapa ia tak marah bahkan bersedih. Ia menjawab bahwa semuanya bukan salah aku dan Tom. Ia tersenyum karena, saat kepergian ayahnya ia sudah tahu bahwa Tuhan menyayangi kedua orang tuanya sehingga ayahnya juga di panggil agar segera memasuki surga. Do’anya telah terkabul. Ia ingin sekali bertemu dengan orang yang tak begitu berani menghadapkan dirinya pada kasih sayang Tuhan. “Sekarang aku benar-benar mengetahui bahwa Tuhan sungguh menyayangiku. Aku tak berhak marah ataupun sedih. Saat ini hanya Tuhan yang bisa memutuskan semuanya”. Mendengar ucapannya membuatku sungguh tertusuk ribuan anak panah suci yang membuat hatiku bergetar kuat. Bagaimana bisa ia yang tak tahu apa-apa jauh lebih mulia dari apa yang pernah kulihat. “Tuhan” ituah yang selama ini tak pernah aku ingat. Bukan dari apa yang ada, tapi kebahagian lahir saat kita dekat dengan Tuhan.
***
Aku dan Tom memutuskan mengubah jalan hidup kami. Aku mengajaknya ke sebuah tempat yang begitu indah. Di sebuah padang rumput yang luas dan di bawah pohon yang rindang. Aku termenung di bawah mentari. Diantara kemegahan alam. Memandang dan menikmati indahnya kasihmu dan kurasakan damai hatiku. Sabdamu bagai air yang mengalir membasahi panas hati direlung jiwa. Memberi terang jalanku dan kurasakan indahnya bersamamu. Jangan biarkan damai ini berlalu dan pergi. Hanya padamu Tuhan, tempatku berteduh dari semua kepalsuan bahagia dan dari semua kepalsuan dunia. Aku menutupkan mataku perlahan.
Selesai

                                                                             Malang, 17 Oktober 2015


0 komentar:

Posting Komentar