Damai
Bersamamu
Saat jingga mewarnai
detik pergantian waktu. Seakan memutar kembali kenangan memori yang penuh akan
makna. Memandang ke depan jauh di kedalaman sayup-sayup rindu datang tak
terelakkan. Kehadirannya bagian dari sejarah yang tak tertuliskan.
***
Seolah hati berkata
bahwa aku sudah bahagia. Aku telah menikmati akan hidup yang sebenarnya.
Terlahir dari keturunan bangsawan, hidup tak mengenal kekurangan dan bebas
bersikap. Aku tak pernah mengenal kata sedih, gelisah dan tak bahagia. Mereka
tak lebih beruntung dari hidupku. Betapa mereka menginginkan kehidupanku. Tak
heran banyak orang yang menantikan kehadiranku. Tidak ada kebahagian yang
seperti aku miliki hingga saat ini. Mereka yang selalu mengasihiku datang dalam
diam dan tersenyum dalam kesunyian. Perjalanan terus berulang meski aku tak
sekecil dahulu lagi. Bahagia itu bebas bersikap apapun kehendak diri. Tak akan
ada yang melarang itulah kebahagian yang mereka berikan. Sekarang kedewasaan
mulai mewarnai kehidupanku. Mereka yang selalu bersamaku, mulai asyik
bersahabat dengan gemerlap malam dan kegaduhan yang tak luput dari pandangan
purnama.
***
Suara bel berbunyi,
suara isyarat panggilan telah tiba. Begitu jumpa dengan mereka maka segeralah
langkah kaki bergerak melangkah. Seperti biasanya, malam kehidupanku adalah
bagian dari kebahagianku. “Andre, suara telponmu berbunyi cepat angkatlah”
ucapku. “Tidak penting! Biarkan saja” jawabnya. Setelah membiarkan malam
semakin larut Andre tiba-tiba saja mengajak pulang. Tak peduli aku menjawab
atau tidak ia segera menarik lenganku dan melangkah jauh meninggalkan
keramaian. Dunia ini seolah goyang dan tak jelas apa yang terlihat. Andre
seketika datang dan mengantarku pulang. Kita tak sepenuhnya menyadari bahwa tak
pantas jika mengendarai seperti kecepatan pesawat yang terbang di udara.
Terlebih tak ada belokan yang sama seperti di samudera. Tak tahu apa yang
membuat Andre tiba-tiba berubah pikiran dan hendak cepat sampai. Kita memilih
jalan yang lebih sepi dan memotong jalan.
Saat hendak membelokkan
ke arah kiri tak di duga bahwa seseorang sedang duduk di samping gerobak dan
semua tak terkendali. Andre dan aku telah melakukan kesalahan besar. Seketika Andre
turun dan mencoba melihat apa yang terjadi. “Aku takut, apa yang terjadi?”
ucapku menenangkan diri. “Apa yang terjadi Andre! Jawab!” seketika ia kembali
ke kempat kemudi. “Aku tak tahu! Dengan cepat mobil berhembus pergi. Apa yang
barusan terjadi. Semua begitu cepat hingga aku tak menyadari sepenuhnya.
Seseorang terlempar di depan mobil dan tertabrak dengan mobil yang di kemudikan
Andre. Malamnya aku tak jadi pulang ke rumah. “Tenangkan dirimu! Kita tidak
akan di gugat. Tak ada yang melihat” ucap Andre. “Kau sudah memastikan bahwa
mereka tak melihat? Bagaimana dengan orang itu?” jawabku. “Sepertinya dia tak
selamat! Tolong jaga rahasia ini dan biarkan semuanya menghilang seiring waktu.
Tom, kau satu-satunya yang bisa aku percaya! Ini untuk kebaikan kita!” tegas Andre.
Meski begitu, malamnya
tidak ada yang dapat terlelap. Semua yang awalnya tak jelas terlihat seakan
jelas terbayang kembali rekaman kejadian barusan. Mimpi buruk telah menghantui
kami. Hanya sepi dan diam seribu arti yang kami ratapi.
***
Kembali mentari menyapa
dengan ratapan sinar yang begitu terang. Tak ada yang bisa dilupakan. Semua
hanya disimpan rapat dalam benak masing-masing. Sehari penuh beban sekali untuk
perlahan-lahan diam dan melupakan. Keadaan ini tentunya membuatku dan Andre tak
kuat. Beruntung aku bukan pelaku sesungguhnya kejadian itu. Andre penyebab
semua ini. Hati nurani juga tak tega, ia bahkan lebih frustasi daripada aku. Berkali
kali aku lihat ia meminum pil penenang. Ia kembali pergi menjauh dari
hadapanku. “Sebegitu beratkah baginya karena kejadian itu?” ungkapku dalam
hati. Andre menghilang selama berbulan-bulan. Kita semua tak bisa
menghubunginya. Bi Surti hanya bisa memberitahu bahwa Andre di bawa ke luar
negeri.
***
“Aku membenci diriku,
aku benci keadaan ini!” kebahagianku lenyap seketika. Hidupku gelap dan terjebak
di kegelapan. Semua terasa mimpi bahkan Tom pun seakan bukan sosok temanku
lagi. Semua menghantuiku, orang itu dan kejadian itu. Orang tuaku yang melihat
kejadian itu hanya membawaku keluar negeri dan membiarkan diriku terpenjara di
ruangan tak sepadan dengan diriku. Aku tak semestinya ada di klinik psikiater. “Mana
kebahagian yang kumiliki sekarang? Siapa yang berani mengambil dan
merenggutnya!” lagi dan lagi perawat itu datang tanpa henti. Kali ini ia
memberikan aku kesempatan untuk bebas pergi berkeliling di lingkungan klinik.
Ia sengaja memperlihatkan bagaimana orang-orang yang kehilangan akal
pikirannya. Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Semenjak saat itu, perawat
itu tak kunjung kembali. Ia tak pernah lagi ke klinik. “Dunia yang aneh!!”
kuteriakan berkali-kali.
Beberapa bulan kemudian
aku akhirnya bebas dari semua itu. Mereka akhirnya menyadari bahwa aku bukan
dari bagian mereka. Aku berbeda dan tidak seperti mereka. Jika saja malam itu
tidak terjadi maka hidupku tidak seperti ini. Sebelum aku kembali, aku
menanyakan kemana perginya perawat itu. Menurut salah satu teman yang
menggantikannya ia telah meninggal dunia karena penyakit tumor ganas. Perawat
itu memberikan sebuah sapu tangan yang bersulamkan kata “God” kepadaku. Sebelum
berhenti dan meninggal ia menitipkannya untukku agar diberikan sebelum aku
pergi dan kembali. Ada hal yang tak bisa aku mengerti di dunia ini. Hidupku
mulai hampa dan kosong. Aku kembali pulang dan tak lama akhirnya berjumpa
dengan kawan lamaku, Tom.
Petemuan singkat yang
menyentuh hingga debar-debar jantung mengarungi raga. Dia sudah seperti bagian
dari diriku. Mungkin benar saat kita tak bersama seorang sahabat kita akan
menyadari betapa berharganya mereka. Tom ternyata sudah lama menunggu
kedatanganku. Ia sering bertanya kabarku selama aku di luar negeri.
***
“Tidak!! Aku bukan
pembunuhmu! Menjauh dan pergi menjauh!” Andre seketika bangun dari tempat
tidurnya. “ada apa dengan kau? Tenangkan dirimu” jawab Tom tiba—tiba masuk ke
kamar. Andre segera berlari ke kamar mandi dan berteriak seolah ada yang
mengganggunya. Nampak bahwa Andre tak sepenuhnya sembuh. Aku biarkan ia seperti
itu, berharap bahwa mentari tiba dengan senyuman yang indahnya. Tanpa ada yang
menyadari aku tiba-tiba berjalan jauh saat sinar purnama yang terang di
kesunyian. Aku benci dan berteriak keras, hidup macam apa ini. Siapa sebenarnya
yang berani mengganggu hidupku. Siapa dia? Tunjukkan saja kemampuan dan
kehendaknya. Apa dia pengecut hingga berani berbuat seperti ini. Tak sengaja
aku melempar kerikil kepada seorang anak kecil. Ia mengaduh kesakitan, sebab
kerikil itu mengenai mata sebelah kirinya. Aku sontak kaget dan segera berlari.
Saat kudekati dirinya.
Seketika ia berhenti menangis. Matanya yang sakit sengaja ia tahan di depanku.
Aku khawatir dan segera membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat perawatan,
adik kecil itu harus rela matanya diperban sebab itu ia hanya bisa menggunakan
sebelah matanya untuk saat ini. Dokter juga tak berani memutuskan apa yang
terjadi. Aku harap ini tak sampai menghilangkan penglihatannya.
“Kenapa tak menangis?
Kau tak marah kepadaku?” tanyaku. “Aku sudah menangis, bagiku itu sudah cukup
untuk mengungkapkan kesedihanku. Untuk apa marah kepada tuan? Aku percaya bahwa
ada satu hal yang semuanya sudah di atur oleh tangan yang paling indah”
jawabnya. Jawaban atas pertanyaanku seolah tak ada beban baginya. Ia bahkan
tenang sekali tanpa ada emosi. “Kau hendak kemana malam begini? Lalu dimana
orang tuamu?” “Tuan, bisakah ku jawab hanya dengan satu kata?” “Tentu, apa
itu?” “Pemakaman”. Anak ini membuatku tertarik dengan sikapnya yang sungguh
unik. Akhirnya aku sampai pada sebuah rumah yang tak mirip dengan rumah. Tempat
para pengemis berkumpul tidur, itulah tempat tinggalnya.
Sebelum ia tidur di
atas kertas koran yang tersusun memanjang, ia mendekati seorang kakek dan nenek
tua renta yang tengah berbaring disana. Ia selimuti mereka dengan kertas koran
yang ia miliki. Lagi dan lagi aku hanya diam kaku meratapi. Sebelum tidur ia
Nampak tengah berdo’a tak lama setelah itu ia tertidur pulas di tengah keadaan
matanya yang sebelah tak bisa melihat. Aku tak tidur semalaman. Saat mentari
menyapa, ia terbangun oleh sentuhan kilau sang surya. Lagi dan lagi ia berdo’a
dan segera menyapa kedua orang tua renta itu dan berangkat memulung. Aku ikuti
setiap langkah kecil perjalanannya. Satu demi satu sampah pun di dapatnya.
Begitu sampai waktunya, ia segera berdo’a entah apa yang dikatakannya aku tak
tahu. Saat malam setiap makanan malamnya akan ia bagi sepertiga. Untuknya dan
kedua orangtua renta itu. Bagaimana ada anak seperti ia. Malam kemudian bersambut.
Aku masih tetap kaku
meratapi aktivitasnya. Sekitar jam delapan malam, ia berangkat dan sesampai
tiba-tiba di sebuah pemakaman yang tak begitu gelap sebab terdapat lampu jalan
yang menerangi tempat itu. Setelah menunggu lama ia kemudian beranjak pulang
dan tepat di depannya aku hentikan langkahnya. Akhirnya kami duduk di bawah
sinar lampu jalan yang memandangi berbagai kendaraan lewat. “Untuk apa kau
kesini?” “Aku hanya menjumpai kedua orang tuaku” “Lalu bagaiman bisa kau hidup
sendiri” “Aku tak pernah hidup sendiri tuan” “Maksudmu?” “Tentu saja, ia yang
memiliki mata yang begitu hebat, pendengaran yang amat tajam hingga ia juga
bisa mengetahui apa perasaan kita, apa dia tak masuk hitungan?”.”Maksudmu?” “Pikirkanlah”.
Di perjalanan ia
akhirnya bercerita bahwa ayahnya telah meninggal dan korban tabrak lari hampir
setahun yang lalu. Sambil bercerita ia menjelaskan kronologis kejadian yang tak
lain di ceritakan oleh orang tua renta yang biasa ia temui sebelum tidur.
Mereka mungkin tak sepenuhnya dapat menjawab tetapi saat itu apapun perkataan
mereka dapat aku percaya. Semakin bercerita aku semakin merasa ada yang aneh.
Lama-lama ceritanya memberitahukan bahwa aku adalah orang yang merenggut
kebahagiannya. Aku pembunuh ayahnya. Aku yang menyebabkan ia juga kehilangan
sebagian penglihatannya. Aku tak berani mengakui, meski aku tahu kebenaran yang
terjadi. Tom yang akhirnya mngetahui kisah ini juga bersedih dan menetaskan air
mata. Ia tak sanggup melihat kenyataan ini. Berbulan-bulan aku menghilang dan
ingin berjumpa dengannya. Tom terus memaksaku agar kita memperbaiki kesalahan
meski tak sepenuhnya kita bisa memperbaikinya.
Seperti biasanya, waktu
ia berkunjung ke makam orang tuanya. Di tempat itulah kami mengakui segala
kesalahan. Aku tak sanggup menahan air mata penyesalanku. Tom pun demikian.
Sang anak kecil itu tak marah sedikitpun. Ia bahkan tersenyum dan memeluk nisan
ayahnya. Saat Tom bertanya mengapa ia tak marah bahkan bersedih. Ia menjawab
bahwa semuanya bukan salah aku dan Tom. Ia tersenyum karena, saat kepergian
ayahnya ia sudah tahu bahwa Tuhan menyayangi kedua orang tuanya sehingga
ayahnya juga di panggil agar segera memasuki surga. Do’anya telah terkabul. Ia
ingin sekali bertemu dengan orang yang tak begitu berani menghadapkan dirinya
pada kasih sayang Tuhan. “Sekarang aku benar-benar mengetahui bahwa Tuhan
sungguh menyayangiku. Aku tak berhak marah ataupun sedih. Saat ini hanya Tuhan
yang bisa memutuskan semuanya”. Mendengar ucapannya membuatku sungguh tertusuk
ribuan anak panah suci yang membuat hatiku bergetar kuat. Bagaimana bisa ia
yang tak tahu apa-apa jauh lebih mulia dari apa yang pernah kulihat. “Tuhan”
ituah yang selama ini tak pernah aku ingat. Bukan dari apa yang ada, tapi
kebahagian lahir saat kita dekat dengan Tuhan.
***
Aku dan Tom memutuskan
mengubah jalan hidup kami. Aku mengajaknya ke sebuah tempat yang begitu indah.
Di sebuah padang rumput yang luas dan di bawah pohon yang rindang. Aku
termenung di bawah mentari. Diantara kemegahan alam. Memandang dan menikmati
indahnya kasihmu dan kurasakan damai hatiku. Sabdamu bagai air yang mengalir
membasahi panas hati direlung jiwa. Memberi terang jalanku dan kurasakan
indahnya bersamamu. Jangan biarkan damai ini berlalu dan pergi. Hanya padamu Tuhan,
tempatku berteduh dari semua kepalsuan bahagia dan dari semua kepalsuan dunia.
Aku menutupkan mataku perlahan.
Selesai
Malang, 17 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar